Sunday, April 16, 2006


Media Massa Bisa Cegah
Penyebaran Pornografi dan Pornoaksi
oleh: Elfira Rosa J

Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) mengundang pro-kontra dimana-mana. Agama, seni, kebebasan berekspresi, hak asasi, kerap menjadi “tameng” pihak-pihak yang pro maupun kontra, untuk menghalalkan pendapatnya. RUUnya sendiri, lebih banyak mengatur tingkah laku dan cara pandang manusia terhadap pornografi yang definisinya sangat “kabur”.

Kalau ditelusuri, maraknya aksi pornografi dimana-mana tentunya tak lepas dari peran media massa. Sejak bergulirnya era reformasi, media massa di Indonesia ikut euphoria. Kebebasan media sekarang ini bahkan cenderung kebablasan.

Media massa semakin lama semakin kehilangan idealismenya. Media massa sekarang ini seperti kehilangan “gigi”. Media massa saat ini cenderung lebih tertarik untuk menyajikan apa yang diinginkan khalayaknya, ketimbang apa yang perlu diketahui khalayaknya.

Tayangan-tayangan hiburan di televisi beberapa tahun belakangan, memang mengalami penurunan kualitas jika dilihat dari kacamata moral dan etika. Rok mini, tubuh seksi, pakaian yang memperlihatkan bagian dada dan paha wanita pun sudah bisa dinikmati nyaris setiap hari pada tayangan sinetron. Wanita di eksploitasi. Tubuhnya “dijual” agar tayangan laku dan mendapat rating tinggi, yang ujung-ujungnya mendatangkan pengiklan.

Film Indonesia, yang katanya telah mengalami kebangkitan, semakin “ramai” mengumbar seksualitas dan sensualitas. Semakin marak saja film yang menampilkan adegan ciuman. Aktris-aktrisnya pun tampil seksi, paha dan dada diumbar begitu saja. Sayangnya, film-film seperti itu bahkan lulus sensor. Apa yang terjadi? Apakah ini pertanda telah bergesernya budaya kita?

Beberapa seniman, dengan mengatasnamakan seni, selalu berkata “Ini seni, bukan pornografi” . Mereka berlindung di balik seni yang “agung” , demi menghalalkan karya mereka yang dapat merusak moral. Orang awam mungkin akan berfikir bahwa seni selalu identik dengan seksualitas dan pornografi!

Media seolah telah beralih fungsi, yaitu menjadi sarana untuk mamasarkan produk dan menjual perempuan. Kenyataan yang terjadi, iklan-iklan yang terpampang selalu sarat dengan nilai-nilai seksisme dan eksploitatif. Dalam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini eksploitasi dan trafficking terhadap perempuan justru dilakukan dengan lebih vulgar.

Dimana-mana, dengan mudah ditemui majalah-majalah yang memampang foto-foto tubuh perempuan, tayangan di televisi dari mulai iklan sampai sinetron, “menjual” tubuh perempuan. Lagi-lagi perempuan yang dieksploitasi. Lagi-lagi perempuan yang jadi korban.

Seharusnya, media massa yang notabene berfungsi sebagai gatekeeper informasi kepada publik, kembali menyatukan visi, kembali menyamakan persepsi, untuk kembali menjalankan fungsi pendidikan media.

Mungkin “Teori jarum hipodermik” dalam komunikasi massa dianggap sudah kadaluarsa. Publik tidak lagi pasif. Mereka dapat memilih informasi sesuai keinginan dan kebutuhan mereka (Uses and gratifications theory). Namun, tinjaulah kembali kondisi masyarakat kita saat ini.

Khalayak media massa digambarkan seperti pyramid. Khalayak yang berpendidikan, selektif, dan aktif menyeleksi terpaan media, digambarkan berada di puncak pyramid. Hanya sedikit sekali, jika dibandingkan dengan khalayak yang berpendidikan menengah kebawah, tingkat imitasinya tinggi, dan selektifitas yang rendah. Golongan ini berada di dasar pyramid. Sangat banyak.

Dengan kondisi real masyarakat yang seperti ini, teori jarum hipodermik mungkin bisa dibilang masih berlaku. Masyarakat yang “awam” dengan tanpa kuasa, begitu saja menerima terpaan media yang sangat deras setiap harinya. Mau tak mau, jika semua media kompak menyajikan seksualitas, sensualitas, dan pornografi, dalam kedok seni ataupun hiburan, masyarakat pun tak kuasa akan membentuk “realitas” sendiri menurut pemahamannya, akibat tayangan-tayangan media.

Cobalah masukkan dalam “agenda-setting” media, bahwa segala hal yang diinformasikan kepada khalayak, haruslah mendidik. Media, dengan kekuatannya yang dahsyat, seharusnya mampu mencegah penyebaran pornografi dan pornoaksi.

Jika saja media mau introspeksi diri, jika saja media mau memperbaiki diri, maka hal itu akan sangat membantu dalam mengendalikan kerusakan moral yang terjadi di masyarakat.
Kalau semua media kompak untuk tidak menyajikan erotisme, seksualitas, eksploitasi tubuh perempuan, maka lambat laun Production House (PH) pun tak akan lagi memproduksi tayangan-tayangan seperti itu, karena tidak akan diterima di media.

Ada pepatah “semakin dilarang, semakin dicari”. Pornografi tidak akan hilang dengan adanya RUU ini, karena pornografi muncul disebabkan oleh kuatnya seksisme yang berakar dalam budaya patriaki yang diperkokoh oleh sistem kapitalis.

Sistem kapitalis ini juga telah terjadi pada media massa. Konglomerasi media bukanlah rahasia lagi. Satu grup perusahaan media bisa memiliki berbagai jenis media (surat kabar, radio, tv, majalah, dan sebagainya). Hal ini bisa dimanfaatkan dan diambil sisi positifnya. Dengan menyajikan hanya yang berkualitas saja, dengan sendirinya tayangan-tayangan atau informasi yang berkualitas rendah dan mengumbar pornografi dan pornoaksi pun akan berkurang, bahkan bisa saja akhirnya mati!
Ket: ini versi asli artikel sy untuk tugas mata kuliah penulisan artikel. artikel ini dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Jawa Barat, Rubrik Suara Mahasiswa, Edisi Senin,17 April 2006. (mengalami beberapa editan dari redaksinya).

No comments: