Monday, February 10, 2014

Everything is Awesome - Teamwork is Better than Working Alone

Setelah nonton film "Lego Movie", otot-otot yang tegang sedikir mengendur. Gurat-gurat kepenatan selama beberapa minggu terakhir hilang sudah *ehm..agak sedikit lebay ya* :p
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari film yang diperuntukkan bagi semua usia ini, diantaranya...

Everything is Awesome, ketika lagu ini dinyanyikan semua yang ada dalam tim menjadi sangat bersemangat untuk bekerja melakukan yang terbaik, sesuai instruksi tentu saja. Follow the Instruction, ini kata2 yang jadi favorit nya si tokoh utama, Emmet.

Ada juga kata-kata bijak dari sang guru yang membuat ramalan, ketika menyadari keistimewaan yang dimiliki "The Special", Emmet, bahwa pikirannya masih kosong, bersih, dan sangat orisinal. Hal ini lah yang membuat kursi bertingkat nya Emmet yang dianggap hal bodoh oleh orang-orang pintar disekelilingnya, justru menjadi satu-satunya benda yang menyelamatkan mereka semua ketika terhempas ke tengah lautan.

note: Emmet membuat kursi bertingkat itu hanya dengan pemikiran bahwa dengan membuat kursi yang dapat memuat banyak orang itu dia dan teman-temannya bisa nonton bersama-sama. so simple.

Ini sering terjadi di sekitar kita. Dimana orang atau bahkan karya yang kita remehkan, karena kita merasa lebih pintar, lebih berbakat, lebih "pantas" disebut spesial, dari pada seseorang yang kita anggap "bukan siapa-siapa", justru sebenarnya adalah orang atau karya yang luar biasa.

Seringkali kesombongan kita lebih angkuh mencuat ke permukaan. Merasa diri kita spesial. Merasa "seharusnya kitalah yang mendapat predikat, The Special". Dan merasa tak ada orang lain yang lebih pantas mendapatkan hal itu dibanding kita. Apalagi kalau melihat tampilan luar dan karya nyata yang sudah dibuat selama ini menunjukkan bahwa orang tersebut memang tidak ada apa-apanya dibanding kita.

Tapi seperti juga dikatakan Emmet di saat krusial terakhir mereka, bahwa memang si Emmet tidak se-brilian mereka, tidak pernah membuat karya hebat seperti mereka.
"Aku memang bukan apa yang orang sebut dengan tipe kreatif, aku hanya seorang kuli bangunan biasa, tapi aku dan tim ku bisa membuat bangunan-bangunan hebat karena mengikuti instruksi saat bekerja sama dalam satu tim. Bayangkan jika itu kalian lakukan. Pasti akan menghasilkan karya yang jauh lebih hebat lagi!"

Yap! Kata-kata itulah yang paling terasa dalam buat saya. Memang tanpa kita sadari, seringkali kita merasa kita yang paling pantas. Karena kita merasa pintar, hebat, dan bisa melakukan segala sesuatu dengan sempurna dan mampu melakukannya SENDIRIAN.

Tapi apa yang terjadi ketika orang-orang pintar & sangat berbakat ini digabungkan dalam satu tim? Tak jarang yang terjadi justru tim yang kacau. Karena mereka semua terbiasa individualis bekerja sendirian. Ketika mereka masuk dalam tim, mereka tak mampu menyingkirkan ego nya untuk menyesuaikan diri bersama kepentingan tim nya, follow the instructions as Emmet said, dan cenderung tetap ingin menjadi the one special dalam tim.

Padahal ketika kita mampu menyingkirkan ego pribadi, bahwa ini adalah kerja tim, karya tim, maka bisa jadi gabungan dari orang-orang berbakat dan cerdas itu dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk menyelamatkan, bukan hanya menyelamatkan kepentingan tim itu saja tapi bahkan menyelamatkan kepentingan semua orang.

Seperti yang banyak terjadi di sekitar kita, seringkali orang yang dulunya paling pintar, the number one at school (but don't have friends), pada suatu hari ke depan, bisa kalah sukses dengan temannya yang dulunya biasa-biasa saja kemampuan akademiknya, namun memiliki banyak teman.

Dinosaurus pada masa kejayaannya pun tak ayal lagi merupakan binatang yang paling besar, paling kuat, tapi tetap saja makhluk itu punah habis.

Orang yang paling cerdas bukanlah yang paling kuat, paling besar, paling menonjol, atau yang paling sukses saat ini. Orang yang cerdas sesungguhnya adalah yang mampu beradaptasi, berbaur dalam tim, menyesuaikan diri untuk bersama-sama menunaikan apa yang menjadi tujuan tim nya.

Satu batang lidi tak mampu melakukan apapun, tapi ketika banyak lidi bergabung menjadi satu, terikat dlm ikatan tim yang kuat, maka banyak hal yang dapat dilakukannya.

Wednesday, February 05, 2014

Idealisme vs Peranan Sosial, Berdamai dengan Keadaan




LET IT GO - FROZEN

The snow glows white on the mountain tonight, not a footprint to be seen.
A kingdom of isolation and it looks like I'm the queen.
The wind is howling like this swirling storm inside.
Couldn't keep it in, Heaven knows I tried.

Don't let them in, don't let them see. Be the good girl you always have to be.
Conceal don't feel, don't let them know. Well, now they know! 
Let it go, let it go! Can't hold it back anymore.
Let it go, let it go! Turn away and slam the door.

I don't care what they're going to say.Let the storm rage on.
The cold never bothered me anyway.

It's funny how some distance, makes everything seem small.
And the fears that once controlled me, can't get to me at all 
It's time to see what I can do, to test the limits and break through.
No right, no wrong, no rules for me. I'm free!

Let it go, let it go. I am one with the wind and sky.
Let it go, let it go. You'll never see me cry
Here I stand, and here I'll stay. Let the storm rage on.
   
My power flurries through the air into the ground. My soul is spiraling in frozen fractals all around
And one thought crystallizes like an icy blast I'm never going back; the past is in the past!

Let it go, let it go. And I'll rise like the break of dawn.
Let it go, let it go That perfect girl is gone Here I stand, in the light of day.
Let the storm rage on! The cold never bothered me anyway

 ***

Mendengar lagu soundtrack film FROZEN yang satu ini, seolah mengingatkan tentang betapa kita kerap kali hidup dikelilingi berbagai peran sosial. Peran sebagai anak, peran sebagai manusia secara pribadi, dan berbagai macam peranan sosial lainnya. 

Gampanngnya, peran sosial ini identik dengan "tuntutan" yang diinginkan lingkungan terhadap seseorang. Misalnya, saat Anda sedang menjalankan profesi sebagai seorang dokter maka Anda harus bersikap selayaknya seorang dokter. Layak yang dimaksud seperti apa? Ya layak versi yang diinginkan lingkungan, misalnya: berwibawa, jaga image, baik, ramah, melayani konsultasi tanya jawab hingga puas, RUM (rational use of medicine), pro asi, dll... Padahal jika menilik lebih dalam ke lubuk hati, bisa saja sebenarnya bukan gaya seperti itu yang Anda sukai.

Sering dengar pernyataan seperti ini? "Masa dokter begitu" atau "Masa guru begitu" atau "masa...masa....masa begini begitu..." yg lain... Nah, ini terjadi jika perilaku Anda tidak sesuai dengan peranan sosial yang diinginkan atau tidak sesuai dengan yang umum terjadi di lingkungan.

Dalam kultur budaya Indonesia dimana peran otoritas orang tua masih sangat kental, sering kali seorang anak dituntut untuk bersikap "baik" sesuai keinginan orang tua. Atau bahkan untuk sebuah cita-cita pun, orang tua sangat besar porsi pengaruhnya. Seringkali belakangan membuat sang anak pada akhirnya menyadari bahwa kehidupannya tidak sesuai dengan kata hatinya, demi selama ini hanya berusaha menjadi “good boy” alias anak baik yang baik sesuai kemauan orangtuanya…

Tak jarang saya menemui kisah nyata mantan petinggi suatu perusahaan di usia pensiunnya hanya ingin dirumah, berkebun. Melakukan apa yang menjadi panggilan hatinya sejak lama namun tak bisa dilakukannya saat ia berada di puncak kesuksesan. Tentu saja kesuksesan yang pastinya membanggakan orang tua nya. Dan di akhir sisa usia produktifnya, apa yang menjadi passion nya itu baru dapat dilakukannya.

Memang dalam hidup ini banyak terjadi bentrok atau bahkan pertentangan yang cukup frontal antara idealism hati pribadi seseorang dengan peranan sosial yang melingkupi lingkungannya berada. Faktanya, kita tak dapat mungkin membahagiakan hati semua pihak (lingkungan dan diri sendiri sekaligus). Tetap ada “perasaan” yang dikorbankan. Kalau bukan perasaan orang lain yang dikorbankan, ya perasaan kita sendirilah yang harus kita kesampingkan sementara waktu. Bahkan mungkin juga kita terpaksa harus menggantukan sementara cita-cita hati kita karena satu dan berbagai hal.

Namun sebenarnya masih ada alternatif “berdamai” dengan lingkungan, terutama orang tua yang selama ini membesarkan dan mendidik kita sehingga bisa menjadi seperti kita yang sekarang ini. 

Berpulang pada prinsip: Ridho Alloh SWT adl Ridho nya orangtua, sebisa mungkin kita jg dapat menyukai apa yang orang tua harapkan, sehingga kalaupun kita akhirnya menjalankan segala ssesuatu, itu sudah atas restu orang tua. Terlalu frontal dan menentang dengan keras sama saja menjadi malin kundang jaman modern bukan? Selama hal itu baik dan banyak memberi manfaat, dan terutama, dapat membahagiakan orang tua kita, why not

Banyak dari kita pasti juga pernah mengalami kondisi  "test the limits and break through, and free!" seperti kebanyakan anak di dunia ini. Mau bebas melakukan apa yang disuka. Tapi ketika itu bertentangan dan bahkan membuat orang tua kecewa, rasanya tetap hampa juga di hati.... Bahkan rasanya malah lebih nyaman ketika kita melihat senyum bangga terpatri di wajah kedua orang tua kita

Terus, kapan jadi “diri sendiri” nya dong? Hey.. jangan lupa… setiap manusia dianugerahi kemampuan yang multidahsyat untuk menjalankan berbagai peranan sosial itu tadi. Dan kita semua punya cukup waktu yang sama, 24jam sehari! Jadi atur waktu sebaik-baiknya. Pasti bisa. Tetap jadi diri sendiri dan bahagia, tapi juga hidup di jalan yang diridhoi orang tua kita.. 

Sebelum menyesal dengan sangat terlambat ketika orang tua sudah tak ada di dunia, karena kita telah banyak membuatnya kecewa... Ketika rasa sesal dan kecewa itu muncul, orang tua kita sudah tak lagi dapat kita sentuh dan tak dapat lagi untuk bersimpuh di kakinya untuk meminta maaf...
 
Robbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani soghiroh..


*mendadak terasa sesak di dada*

In memoriam of my father... 3 feb 1960- 14 Jan 2013