Thursday, April 20, 2006


Jurnalisme Damai untuk Papua
Oleh Elfira Rosa J

Konfik yang terjadi di Papua bukanlah hal baru, melainkan akumulasi dari konflik yang selama ini tidak diselesaikan dengan baik. Sehingga kerusuhan yang terjadi belakangan, merupakan “bom waktu” yang akhirnya meledak setelah sekian lama aktif, namun tak terdeteksi.

Kerusuhan di Abepura yang menewaskan empat aparat keamanan, 42 warga papua yang meminta suaka ke Australia, dan empat mahasiswa Universitas Cenderawasih yang lari ke Papua Nugini. Rentetan kejaian itu hanya berawal dari rasa keadilan mereka yang tidak terpenuhi oleh Negara.

Sebagai warisan pemerintahan Orde Baru, rakyat Papua memang telah di dzalimi oleh penguasa. Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan Papua yang kaya sumber daya alam, justru tidak mementingkan kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Mereka menjadi kaum tersingkir, kaum budak di negeri sendiri. Sementara yang menikmati kekayaan alam mereka, justru orang luar.

Pemberitaan Papua di Media Massa

“Bad news is a good news”. Bagi media massa, konflik yang terjadi di Papua tentunya memiliki nilai berita yang sangat tinggi. Nuansa politik yang sangat kental, ada “rakyat yang tersakiti”, rusuh, ada korban jiwa, aktual, dan sebagainya.

Masih teringat tayangan adegan kekerasan di Papua yang sangat detail kita saksikan. Terlihat jelas jatuhnya korban, tertangkap langsung oleh lensa kamera, dan tayangan sadis tersebut tersebar ke seluruh pelosok nusantara secara “apa adanya”.

Dengan alasan public right to know dan untuk kepentingan publik, media-media kita berburu cepat memberikan “tayangan ekslusif” secepat dan selengkap mungkin apa yang terjadi di Papua.

Apakah pemirsa di Indonesia sangat-sangat bodoh sehingga media sampai begitu merasa perlunya menayangkan adegan se detail itu? Apakah dengan melihat adegan lempar-lemparan dan kejar-kejaran antara polisi dan pengunjuk rasa tidak cukup menunjukkan bahwa telah terjadi kerusuhan di sana? Pemirsanya yang memang tidak mengerti, atau medianya yang menganggap pemirsa bodoh?

Apakah dengan menyajikan adegan jatuhnya korban tersebut lantas akan membawa manfaat bagi khalayak yang menyaksikannya? Atau jangan-jangan, adengan tersebut hanya akan memancing emosi berbagai pihak.

Menurut Noelle-Neumann, faktor penting dalam media massa yang bekerja sama dalam membatasi persepsi yang selektif yaitu ubiquity (serba ada), akumulasi pesan, dan keseragaman wartawan. Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi dan berada di mana-mana. Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari pesan media massa. Sementara itu, pesan-pesan media massa bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-potong bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu.

Perulangan pesan yang berkali-kali dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan. Siaran berita cenderung sama, sehingga dunia yang disajikan pada khalayak juga dunia yang sama. Khalayak akhirnya tidak mempunyai alternatif lain, sehingga mereka membentuk persepsinya berdasarkan informasi yang diterimanya dari media massa.

Masalah di Papua tidak hanya saat ini saja, tapi sudah sejak lama. Namun media tidak menyebarluaskan semua masalah yang terjadi di papua. Media menyajikannya secara sepotong-sepotong dan tidak utuh. Yang terjadi kemudian, begitu terjadi rusuh di Papua, secara bombastis media ramai-ramai menyebarluaskannya.

Dampaknya sangat besar bagi rakyat Papua. Masyarakat yang tidak tahu “sejarahnya” akan berfikir bahwa di Papua, orang-orangnya masih sangat primitif, tidak punya sopan santun, tidak berpendidikan, dan segala macam stereotype lainnya.

Masyarakat bukanlah jurnalis, yang tahu seluk beluk suatu berita. Mereka hanya tahu apa yang ada di balik laya kaca. Ketebatasan ruang dan waktu dalam media massa juga menyebabkan semua informasi tidak dapat disampaikan. Ada yang terpenggal. Ketidakadilan yang dialami rakyat Papua, tidak “diangkat” oleh media, se besar dan se bombastis berita tentang kerusuhan yang telah terjadi.

Mendinginkan “Suhu” Papua

Konflik, apapun itu, dimanapun terjadinya, akan senantiasa menjadi berita menarik. Namun, apapun yang menggunakan kekerasan -meskipun mengatasnamakan hak asasi sekalipun- akan selalu menyisakan kepedihan yang sangat mendalam bagi yang mengalami, dan menimbulkan keprihatinan bagi yang tidak merasakannya secara langsung.

Jurnalisme damai pertama kali diusung oleh Johan Galtung, seorang veteran mediator damai kelahiran Norwegia. Di Indonesia sendiri jurnalisme damai baru menjadi wacana sejak terjadi konflik Ambon, kemudian disusul konflik SARA lainnya.

Dalam memberitakan konflik yang terejadi di Papua, wartawan (atau) jurnalis hendaknya perlu memperhatikan frame berita, agenda setting, dan framing konflik yang resolutif. Selain itu perlu juga diperhatikan strategi peliputan di daerah konflik, dengan sebisa mungkin menghindari konflik. Wartawan harus mampu memposisikan dirinya dengan tepat saat meliput konflik.

Jurnalis memang harus melaporkan fakta. Tetapi dalam menyajikan fakta kepada khalalyak, perlu juga mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan akibat laporan tersebut. Kemana arah yang dimau oleh sang jurnalis atau media? Disinilah “agenda setting” bermain.
Khalayak tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting yang diberikan pada suatu isu atau topik, dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut.

Kemampuan untuk mempengaruhi perubahan individu merupakan aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa. Topik yang sering dimuat di media massa akan dianggap penting oleh khalayaknya. Jika dalam konflik Papua ini media massa mampu mengangkat isu “perdamaian”, menyajikan betapa kekerasan hanya akan menimbulkan kerugian semua pihak, bahwa bangsa kita harus bersatu dan jangan mudah terpecah-pecah, maka dampak pemberitaan seperti itu pada diri khalayak akan terlihat.

Kekuatan media yang dahsyat selayaknya bisa dimanfaatkan media dan para jurnalisnya untuk mengusung nilai-nilai kebenaran dan perdamaian. Pemberitaan mengenai kekejaman suatu kelompok, atau penyebab jatuhnya korban, hanya akan memancing emosi khalayak, bukan hanya mereka yang dekat dengan wilayah konflik, tapi juga yang berada di luar lingkaran konflik.

Pers memang bukan lembaga suci yang merupakan lembaga perdamaian, namun pers dengan kekuatannya itu mampu mengarahkan persepsi publik. Kekuatan ini memang bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi hal itu bisa dimanfaatkan untuk mengusung kebenaran, kontrol sosial, dan perdamaian. Di sisi lain, bisa saja pers dimanfaatkan untuk proraganda pihak-pihak tertentu yang ingin melanggengkan kekuasaanya.

Dalam pemberitaan, pers hendaknya berorientasi pada solusi. Pers juga harus mengembangkan rasa empati untuk semua pihak, tidak berpihak kepada pihak manapun. Proaktif mencari cara untuk mengurangi kekerasan. Hindari membingkai konflik melalui perspektif “dua pihak yang berlawanan”.

Pertimbangkan secara matang, apa efek kognitif (berhubungan dengan pikiran atau penalaran), efek afektif (berhubungan dengan perasaan), dan efek konatif (bersangkutan dengan niat, tekad, usaha yang mengarah pada tindakan) yang akan ditimbulkan setelah khalayak mengetahui berita tersebut.

Pemahaman ini sangat penting bagi orang-orang yang berkecimpung di media massa, mereka yang bergiat dalam upaya mengubah sikap dan perilaku khalayak secara manusiawi. Media massa jangan sampai dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang tidak ingin kedamaian terjadi di Papua. Jangan sampai ada pihak-pihak yang senang atas renggangnya hubungan Indonesia-Australia.

Jurnalisme ada untuk memenuhi perannya sebagai “The Fourth Estate”. Jurnalisme bekerja atas dasar kebenaran. Seperti kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam ”Elemen-elemen Jurnalisme” , tanggung jawab utama jurnalis adalah pada hati nurani.

Kebenaran memang membingungkan, tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Benar menurut siapa, berdasarkan apa, dan sebagainya. Namun satu hal yang patut selalu di pegang adalah bahwa jurnalis juga bertugas menyuarakan kaum tak bersuara. Rakyat Papua dalam hal ini, kaum tak berdaya, sebagai kaum tertindas di negeri sendiri. Maka, “suarakan” lah hal itu kepada khalayak, agar khalayak tidak hanya tahu kejelekan masyarakat Papua, tapi juga tahu : “Ada apa di balik itu semua?”

Adegan sadis yang disajikan di media massa mungkin saja akan meningkatkan “”gengsi” media yang bersangkutan karena mampu menyajikan gambar yang nyata. Mungkin saja akan meningkatkan rating dan menuai iklan yang banyak, mungkin saja tayangan seperti itulah yang “diinginkan” khalayak. Tapi pertimbangkanlah, apakah hal seperti itu layak disajikan pada khalayak? Apa pentingnya? Apa manfaatnya?

Dengan jurnalisme damai, media menjadi peredam konflik. Beri kontribusi penyelesaian konflik Papua. Tenangkan “air keruh” di Papua. Media massa dapat menjadi mediator yang berada di garda terdepan dalam inisiasi perdamaian konflik Papua.

Lupakan jurnalisme perang (yang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas, dan kerusakan material). Beri tahu “dunia”, bahwa ada begitu banyak manusia di Papua yang sama-sama memiliki hak untuk menikmati kedamaian dan kesejahteraan atas tanahnya sendiri. Jangan biarkan khalayak “membutakan mata” terhadap ketidakadilan yang dialami warga Papua.

No comments: