Tuesday, July 22, 2008

Hafalan Surat Delisa

Hafalan Surat Delisa
Author : Tere-liye
published 2007 by Republika


Review by : Nicegreen on http://www.goodread s.com/book/ show/1376220.
Hafalan_Shalat_ Delisa



Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh, yang selalu menanamkan ajaran
Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi
Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (si
kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.



Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadariny a sholat
jama'ah.
Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal
tanker perusahaan minyak asing - Arun yang pulangnya 3 bulan sekali.
Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk
sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah.
Setiap sholat jama'ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat
keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan
sholat itu.



Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas
kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.
Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan
sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha
keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun
berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan
sholat dengan sempurna.



Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah
sudah
membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa.
Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin
menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal
bacaan sholat dengan sempurna.




26 Desember 2004



Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya
nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa
lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa
mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak
untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai
oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa.
Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman
tentang
bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya.
"Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya
satu." Nah jadi kalian
sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di
sekitar, tetap khusuk.



Delisa pelan menyebut "ta'awudz". Sedikit gemetar membaca
"bismillah". Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara
dan
hatinya pelan-pelan mulai mantap. "Allahu Akbar".



Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai
bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis
di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA.
Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer.
Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat.
Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.



Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias
lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa,
tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti" , lantai sekolah
bergetar hebat. Genteng sekolah
berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam
menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama
kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.



Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh.
Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa.
Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar.
Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu.
Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!



"Innashalati, wanusuki, wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya,
wa-ma-ma-ti. .."



Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya
Allah, Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah
membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz
Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika
punggungnya digigit kalajengking?



Delisa ingin untuk
pertama kalinya ia sholat, untuk pertama
kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin
seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah...



Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok
sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi
yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras ...
SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi.
Delisa ingin khusuk.. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami
sempurna sudah membungkusnya. . Delisa megap-megap. Gelombang tsunami
tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya
keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa.
Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah "i'tidal..."
"Al-la-hu-ak- bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak
peduli
tembok yang siap menghancurkan
kepalanya.



Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum
kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari "Arasy
Allah." Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala
mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk,
menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret.
Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar
besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah
tak bisa menjerit lagi. Ia
sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya
patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah
menyembur dari mulutnya..



Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas
kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan
sekencang yang ia
bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil
menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari
tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang
diatasnya.



"Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang...!" Ibu Guru Nur
berbisik
sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu
Guru Nur bersiap menjemput syahid.



Minggu, 2 Januari 2005

No comments: